Saturday, December 31, 2011

0 Negri di Awan

Bak takdir, dipenghujung 2011 ini masalah negri kian mengalir. Salah satu yang harus mendapat sorotan tajam adalah kekerasan yang pecah diberbagai penjuru negri ini. Mesuji, Papua, dan Bima jelas sebuah sentilan bagi negara yang konon dibangun dari keramah-tamahan ini. Indonesia seakan menjadi ladang subur bagi tumbuh kembangnya kekerasan.

Alam yang kaya toh tak menjadikan rakyat di negri ini hidup makmur bak konglomerat, justru mengarah ke nasib yang melarat. Serasa tak ada lagi tempat yang aman dan nyaman untuk disinggahi, semua berkecamuk dan kehausan akan kasih. Banyak pemberontak yang lahir, dan bisa dimanfaatkan pada segala kondisi. Mulai dari usaha pengalihan isu, usaha penggulingan rezim, hingga politik pencitraan.

Masalah pemberontakan ini juga terjadi dalam sekup yang lebih kecil. Didunia sepakbola hal ini terasa sebagai bumbu penyedap ketatnya persaingan. AC Milan, kklub favorit saya ini punya pengalaman indah mengenai pemberontak atau bad boy. Oia, sebaiknya saya awali kisah tentang Milan Lab. Dalam 5 kali pergelaran final Liga Champions Eropa, Milan berhasil menapaki final sebanyak 3 kali (2003, 2005, dan 2007) dan 2 diantaranya mereka pulang sebagai kampiun. Bukan catatan yang mengagumkan memang, mengingat Barcelona dan MU pun mencatat statistik yang lebih baik. Namun yang menjadikan itu sebagai pencapaian yang hebat adalah karena Milan melakukannya dengan rataan usia pemain diatas 30 tahun. Usia dimana pemain sepakbola profesional biasanya mulai mengalami penurunan kualitas.

Milan Lab lah yang diklaim telah memuluskan langkah klub kepunyaan Silvio Berlusconi ini. Disana, pemain yang rentan cedera dan telah mengalami penurunan performa akan dipantau tingkat kebugarannya. Peralatan tercanggih juga turut melengkapi Milan Lab sehinnga mampu meminimalisir cedera panjang pemain. Paolo Maldini, Marcos Cafu, Jaap Stam, hingga Nelson Dida telah merasakan magisnya sentuhan Milan Lab hingga mereka mampu menunjukkan performa yang stabil diusia senja.

Kini Milan Lab seakan mempunyai spesialisasi baru sebagai karantina para bad boy, yang diawali dengan hijrahnya pemain-pemain seperti Zlatan Ibrahimovic, Kevin Prince Boateng, dan Robinho ke Milan. Alih-alih akan melahirkan banyak problem bagi klub, trisula maut itu justru menujukkan andil besar dalam usaha membawa gelar scudetto ke Milanello.

Ibrahimovic tercatat berulah ketika dirinya berseragam Barcelona, begitu pula dengan Robinho yang ngotot ingin pindah dari Manchester City. Prince Boateng? Lahir dari kehidupan keras di jalanan dan harus gonta-ganti klub karena sering membuat onar dan emosinya yang labil diatas lapangan. Datang ke Milan pada 2010, ketiganya mampu melupakan kelamnya masa lalu diklub sebelumnya. Singkat cerita, Milan Lab seakan mampu mengubah karakter pemain dan menjadikan Milan bagai rumah yang nyaman bagi para pemain. Bahkan ketika Leonardo menyeberang ke kubu Inter Milan sebagai pelatih, jajaran pelatih dan pemain Milan pun masih menaruh respek dan menyambutnya dengan hangat ketika bertandang ke stadion San Siro.

Terkait dengan rumor kedatangan Tevez, yang juga seorang bad boy, menarik untuk ditunggu apakah Milan Lab mampu mengubah karakter pembangkannya. Bila Milan Lab saja mampu mengubah karakter keras pemain yang kerap membuat kegaduhan, mengapa di negri ini tak mampu mewujudkan kondisi yang tenteram bagi warganya. Padahal, sopan santun dan keramahan merupaka elemen penyusun utama setiap warga negara Indonesia. Semua ini bukan karena karakter, tetapi karena keadaan. Keadaan dimana mereka harus tetap bertahan hidup, melawan yang merenggut hak mereka, dan kekerasan menjadi makanan yang pas untuk mengisi kekosongan perut mereka.

Masih adakah negri di awan itu, dimana kedamaian menjadi istananya?

0 comments:

Post a Comment

 

Gemahpedia Copyright © 2011 - |- Template created by O Pregador - |- Powered by Blogger Templates