Monday, January 30, 2012

0 Sinetron PSSI

Sinetron adalah akronim yang lebih serig kita kenal untuk menyingkat istilah sinema elektronik. Sinetron ini dikenal soap opera dalam bahasa Inggris ataupun telenovela bila di Spanyol. Umumnya, sinetron bercerita tentang kehidupan manusia sehari-hari, lengkap dengan konflik-konflik sebagai penghias alur ceritanya.

Biasanya, kisah dari sinetron cenderung memberikan ketegangan sepanjang kisahnya, dan selalu ditunda kelanjutanya untuk episode berikutnya. Tak jarang, sinetron yang menghiasi layar televisi kita dibubuhi edisi 1, 2, 3, dan seterusnya. Terbukti sinetron saat ini masih menjadi pendongkrak rating suatu stasiun televisi sekaligus menunjukkan masyarakat kita menggemari drama.

Tanpa disadari, PSSI sebagai organisasi sepakbola tertinggi di Indonesia menyugukan kita episode-episode yang penuh ketegangan. Saat Nurdin Halid masih memangku jabatan ketua umum PSSI, muncul Arifin Panigoro dan Jorge Toisutta dari kubu Jenggala dengan misi mengakhiri rezim Nurdin yang ditengarai penuh praktek-praktek kotor. Kubu Jenggala yang pro perubahan memulai kampanyenya dengan membeberkan fakta-fakta yang sekian lama diburamkan kubu status quo.

Digadang-gadang bakal memimpin PSSI, Arifin dan Jorge justru tersangkut aturan FIFA. Arifin terbukti terlibat dalam LPI yang oleh FIFA dianggap sebagai breakaway league, sedangkan Jorge tersangkut aturan bahwa ia masih aktif sebagai anggota TNI. Penunjukan Agum Gumelar sebagai ketua Komite Normalisasi berakhir dengan terpilihnya calon 'alternatif' dari kubu Jenggala, Djohar Arifin Husin.

Dualisme Kompetisi


Pergantian kepengurusan bukan berarti drama ini akan berakhir. Déjà vu dualisme kompetisi kini kembali tersaji dan pelakunya masih barang lama, IPL dan ISL. Diikutsertakannya klub-klub peserta IPL versi Arifin Panigoro membuat klub-klub peserta ISL berang. Bagi mereka, tidaklah adil klub-klub yang semula berada di kompetisi terlarang dengan mudah diberikan 'ampunan' dan diizinkan mengikuti kompetisi yang baru dan legal. Selain itu, jumlah peserta yang membengkak pun akan mempengaruhi kondisi klub terutama fisik pemain, apalagi bagi klub yang harus berlaga dikompetisi Asia.

Kalau boleh jujur, PSSI tak perlu membubarkan PT Liga Indonesia selaku operator ISL karena itu berarti PSSI melakukan pekerjaan mulai dari nol. PSSI seharusnya memberikan sanksi kepada klub-klub peserta IPL dan menjalankan kompetisi sesuai format yang sudah ada. Diikutsertakannya klub-klub peserta IPL malah menguatkan anggapan bahwa Djohar Arifin adalah boneka yang terus di dikte oleh kubu Jenggala pimpinan Arifin Panigoro.

Negara tetangga kita, Vietnam, juga pernah berada pada kondisi yang sama. 7 klub peserta V-League, yakni Hoang Anh Gia Lai, Dong Tam Long An, Hoa Phat Hanoi, Hanoi ACB, Vissai Ninh Binh, Khatoco Khanh Hoa, dan Thanh Hoa memohon agar VFF (Federasi Sepakbola Vietnam) mengizinkan mereka keluar dan berlaga di Vietnam Super League. Yang mendasari keputusan itu adalah tidak profesionalnya penyelenggaraan liga dan rawan pengaturan skor. Meski pada awalnya ditolak, akhirnya VFF merestui lahirnya kompetisi yang dikelola perseroan.

Kondisi di negri Paman Ho itu tentunya tak seperti di negri kita dimana dualisme kompetisi erat hubungannya dengan kekuasaan. Disana ide untuk melahirkan kompetisi baru mutlak dari klub peserta liga yang merasa harus dilakukan perubahan. Namun yang patut kita cermati adalah bagaimana mereka sukses melakukan mediasi hingga akhirnya VFF melunak dan Vietnam Super League pun siap digulirkan.

Di Indonesia, akar dari dualisme kompetisi ialah konsep liga tandingan yang dicetus Arifin Panigoro dalam usahanya menurunkan Nurdin Halid dulu. Dan siapa sangka, kini ketika usahanya itu berhasil, IPL menjadi senjata makan tuan yang justru akan menggulingkan Djohar Arifin bila tak kunjung mendapatkan win win solution.

PSSI boleh saja beranggapan bahwa IPL tak ubahnya seorang bayi yang telah lahir dan tak mungkin ditelantarkan. Namun, bukannya ISL sudah terlebih dahulu lahir dan bahkan jauh lebih dewasa ketimbang IPL? PSSI bukanlah organisasi yang bertugas melahirkan banyak kompetisi ataupun regulasi, tapi PSSI bertugas untuk melahirkan pemain-pemain yang akan mempersembahkan trofi bagi Indonesia.

Proses mediasi guna mencari jalan tengah tentu tak akan sukses bila kedua belah pihak masih keuh-keuh mempertahankan apa yang menurut mereka benar, sama halnya dengan KLB yang diklaim satu-satunya jalan untuk menyudahi drama dualisme kompetisi. Tanpa ada pihak yang siap mengalah dan legowo, kita harus bersiap menyambut sanksi FIFA apa pun bentunya. Yang jelas, akan menjadi kerugian bagi seluruh pencinta olahraga asal Inggris ini.

Sinetron hampir selalu menjual mimpi bagi penonton, pun dengan PSSI yang terus-menerus menjual mimpi bagi pencinta sepakbola. Kita hanya akan bisa bermimpi melihat timnas mengangkat trofi Piala AFF, apalagi berlaga di piala dunia. PSSI tak ubahnya quicksand atau pasir isap yang menyedot perhatian dan energi kita, terlebih lagi konflik ini sebenarnya menyedot banyak dana yang justru terbuang sia-sia. Patut diingat, sepakbola adalah cabang olahraga dengan penggemarnya paling banyak, anggaran dananya paling besar, tetapi hingga kini masih nihil prestasi.

Entah kapan kita bisa melihat sepakbola negri ini sebagai pemersatu bangsa dan mengakhiri pertikaian seperti yang dilakukan Nelson Mandela dan Mahatma Gandhi. Satyagraha, salah satu filosofi yang dicetuskan oleh Gandhi, artinya kurang lebih kekuatan kebenaran, dimana perlawanan yang tidak melulu harus ditempuh dengan jalan kekerasan. Benih-benih inilah yang digunakan Mandela untuk mengakhiri penindasan berdasarkan warna kulit yang terjadi di Afrika Selatan melalui sepakbola. Gandhi dan Mandela paham betul bahwa sepakbola bukan soal invidu ataupun kelompok, tapi tentang kerja sama tim.

Sikap pemegang kepentingan di tubuh PSSI yang terus adu argumen menunjukkan siapa mereka sebenarnya, bahwa mereka bukan orang-orang yang mengerti dan paham betul nilai apa saja yang ada dalam sepakbola. Mereka tidak tau apa makna dari sodoran tangan seorang pemain kepada pemain lain yang terjatuh setelah terkena tackling keras, mereka juga tidak tau makna dari minute of silence yang dilakukan sesaat sebelum pertandingan dimulai. Bahkan mungkin, mereka tidak tahu mengapa sepakbola itu dimainkan oleh 11 orang! Yang mereka tahu hanyalah kepentingan yang mereka bawa, entah itu untuk kelompoknya ataupun untuk individu mereka sendiri.

Seperti peribahasa, dua gajah bertarung pelanduk mati ditengah-tengah. Mereka yang terus bertarung kian membawa sepakbola negri ini yang berada ditengah-tengah menuju kematian layaknya sang pelanduk. Namun, namanya juga sinetron yang terus membawa kita bermimpi dan berandai, saya ingin mengajak kita semua berandai bagaimana bila suatu saat mereka, dua kubu yang bertikai, saling bekerja sama dan bersinergi membangun sepakbola tanah air? Kira-kira bagaimana nasib sang 'pelanduk'? Simpan saja jawabannya untuk kita sendiri.

0 comments:

Post a Comment

 

Gemahpedia Copyright © 2011 - |- Template created by O Pregador - |- Powered by Blogger Templates