Jangan salahkan orang. Bukankah niat dari awal adalah membantu tanpa imbalan? Kenapa ketika semua selesai berharap balasan setimpal? Cinta tak mempunyai satuan dan tak berdimensi. Kapan cinta datang, ia bukanlah waktu. Dimana cinta berada, ia bukanlah jarak. Dan seberapa besar cinta itu sendiri, ia bukanlah ruang.
Semakin beranjak dewasa, semakin tau bahwa peran ini tak mampu untuk lepas. Bisa saya menjadi sosok yang antipati dan apatis? Menjadi seorang pendengar itu bukan perkara gampang, tapi menjadi pendengar sejati itu hal yang mulia. Namun bagi orang yang lain, mungkin ini sebuah kutukan. Kutukan yang selalu menjadikan dirinya disempal harapan-harapan palsu tiap saat. Membawanya terbang melayang tinggi, dan dihempaskan ke bumi, berulang-ulang, dan oleh berbeda-beda orang.
Look inside, apakah selalu kita berada dipihak yang sedemikian kejamnya itu? Pertimbangkan pula kemungkinan-kemungkinan tentang orang lain yang justru mendapatkan perlakuan tak enak itu dari kita sendiri. Kita yang merasa selalu tertindas. Dan bagaimana bila orang lain tersebut adalah orang tua kita? Yang selalu kita jadikan tempat berkeluh kesah dan meminta nafkah, tapi justru dilupakan perannya ketika kita bahagia. Padahal mereka sudah menjadi pendengar yang luar biasa baik dan sabar.
Let her go, yakinkan Allah selalu punya rencana. Mungkin dia bukan yang terbaik, dan mungkin bukan yang tepat. Allah tau tiap kepingan yang cocok untuk kepingan-kepingan lainnya. Tapi, bukankah dia memang tak masuk rencana dari dulu dan sejak awal? Saya lupa, jawabannya di paragraf ketiga.
Bukan berarti jangan lagi berharap, bukan pula tidak lagi menjadi pendengar yang baik, tapi ikhlaslah. Allah tidak hanya ada di Jakarta atau di surga, Allah telah mengemas kotak kecil berisi imbalan atas usaha kita. Dan imbalan Allah tak harus diterima saat ini juga, karena imbalan Allah bersifat kekal, dan kekekalan itu sejatinya tak berdimensi.
0 comments:
Post a Comment