Thursday, October 18, 2012

0 Crisis

Italia, dulu sempat menjadi magnet dan kiblat sepakbola dunia, dimana liga domestik, Eropa, hingga dunia mengenal klub dan tim nasionalnya. Dulu. Ibarat roda, sepakbola Itali sedang mengitari siklusnya. Masa-masa keemasan sedang semakin menjadi perbincangan yang tak relevan lagi. 2010, tahun dimana Inter Milan menjadi juara Eropa, seolah sudah terjadi lebih dari 2 dekade. Perputaran bahan obrolan sepakbola seakan begitu cepat meninggalkan tanah Itali.

Tahun ini semakin menjadi suram saja, scommessopoli datang ketika klub-klub sedang berada dalam kondisi finansial sekarat. Ketika konstelasi klub-klub sudah berada pada jalur yang tepat, kasus pengaturan skor merebak dan melibatkan pemain hingga pelatih. Jangankan terlibat dan menerima suap, tutup mulut seperti yang dilakukan Conte pun didenda berat.


Di bursa transfer klub-klub Itali sulit bersaing. Milan melalui 'Kojak' Galliani ditertawai presiden Montpellier ketika menawar Yanga Mbiwa dengan harga dibawah pasaran, Inter Milan kalah bersaing dengan PSG untuk mendapatkan Lucas Moura, Juventus menemui jalan buntu dalam usahanya mendapatkan Van Persie. Sepakbola Italia seakan hilang kemagnetannya dimata pemain top Eropa, yang pasti menganggap Inggris dan Spanyol sebagai tempat yang lebih nyaman dari segi pendapatan ataupun kekompetitifannya.

Tinggalkan sejenak Italia, kita lihat sepakbola Jerman. Klub-klub Jerman sempat mengalami krisis, namun sayang saya lupa kapan itu terjadi tepatnya. Cash flow klub yang pas-pasan menjadikan mereka harus jeli, jelas, dan tepat untuk urusan transfer. Beli semurah-murahnya, dan jual semahal-mahalnya. Pilihan pemain tentu berkisar antara pemain lokal, ataupun pemain murah meriah dari benua lain.

Hikmahnya, pemain-pemain asli Jerman mendapat minute play yang lebih banyak dan regenerasi berjalan lancar. Tak pelak Jerman kini menjadi produsen pemain bertalenta dan membuat klub-klub kaya Eropa ngiler lalu rela merogoh kocek dalam-dalam. Mesut Oezil, Sami Khedira, Marko Marin, dan Kagawa adalah produk-produk yang dicetak kompetisi Bundesliga.Imbas lainnya, Joachim Low justru kebanjiran stok untuk setiap pos pemain di timnas.

Jenjangnya kurang lebih demikian, pemain-pemain muda lokal biasanya bermain di klub menengah kebawah, entah itu asli binaan klub ataupun pinjaman dari klub papan atas. Bila bermaian apik, mereka akan 'naik pangkat' berupa dibeli klub yang lebih besar, yang berlaga di kompetisi Eropa. Ketika berlaga di Eropa dengan performa manawan, mental akan semakin terbentuk, dan level permainan kian meningkat, maka mereka akan berlabel the rising star. Selanjutnya tinggal meningkatkan kompetisi dengan bermain diluar ataupun berada di klub besar lokal.

Jangan palingkan perhatian dari ranah Spanyol yang menjadi sedemikian jayanya di dunia berkat strategi serupa. Pemain-pemain kian bermunculan dan bermain di level tinggi seakan-akan memaksa senior-seniornya pensiun dini. Seperti halnya candu, Jerman dan Spanyol tak ingin beranjak dari kursi nyaman ini. Parameter kesuksesan tim tak lagi diukur dari trofi yang terpajang, tapi juga pembinaan.

Sekarang, mampukah klub-klub Italia menerapkannya? Fakta yang menjadi tantangan terbesar disana saat ini adalah hanya Juventus satu-satunya klub yang memiliki stadion pribadi, lainnya masih numpang dari stadion milik pemerintah kota. Otomatis, pengeluaran klub menjadi bertambah, mengingat selain biaya pemeliharaan, mereka harus membayar fee atas peminjaman itu. Di tengah krisis yang melanda Eropa saat ini, pantas untuk ditunggu bagaimana kiprah klub-klub Italia di musim-musim mendatang. Mampukah mereka mengadaptasi blueprint sepakbola Spanyol dan Jerman?

Namun pertanyaannya, bila Spanyol, Jerman, dan disusul lagi Italia, serta negara-negara Amerika Latin terus memproduksi pemain, siapa yang akan membelinya? Ah, selama minyak masih menjadi bahan bakar utama, dan klub-klub Inggris masih dimiliki pengusaha Timur Tengah, pertanyaan terjawab sudah. Linier, selama itu pula kompetisi liga Inggris akan gemerlap, dengan pemain bintang dari berbagai penjuru dunia menyatu disana, serta fans timnas Inggris terus menunggu dan menunggu kapan trofi dipersembahakn timnasnya. Sebuah ironi, tapi tampaknya saya yakin penggemar sepakbola Inggris lebih legowo bila ini disebut sebagai sebuah konsekuensi. Iya kan? Namun bagi saya, itu adalah bentuk lain dari krisis untuk sepakbola Inggris.

Wednesday, October 17, 2012

0 What To Expect When You're Expecting

Lihat sekitar, ada saja orang-orang yang memiliki peran tak nyaman. Menjadi orang yang tepat, disaat yang tepat, dan berada di tempat yang tepat bukan hasil akhir tentang apa peran kita bagi orang lain.

Pernah cuma atau selalu menjadi tempat yang nyaman bagi seseorang ketika ia murung? Dan menjadi tempat yang tak layak dikunjungi ketika ia bahagia? Idealnya setiap orang ingin menjadi berguna bagi orang lain, membahagiakan orang, dan melepas kesedihan orang. Namun salah paham selalu terjadi pada akhir cerita. Berharap mendapat tempat di hati orang tersebut, tapi justru dijadikan tempat mampir dan melepaskan penat saja. Some heart is just a rest area.

Jangan salahkan orang. Bukankah niat dari awal adalah membantu tanpa imbalan? Kenapa ketika semua selesai berharap balasan setimpal? Cinta tak mempunyai satuan dan tak berdimensi. Kapan cinta datang, ia bukanlah waktu. Dimana cinta berada, ia bukanlah jarak. Dan seberapa besar cinta itu sendiri, ia bukanlah ruang.

Semakin beranjak dewasa, semakin tau bahwa peran ini tak mampu untuk lepas. Bisa saya menjadi sosok yang antipati dan apatis? Menjadi seorang pendengar itu bukan perkara gampang, tapi menjadi pendengar sejati itu hal yang mulia. Namun bagi orang yang lain, mungkin ini sebuah kutukan. Kutukan yang selalu menjadikan dirinya disempal harapan-harapan palsu tiap saat. Membawanya terbang melayang tinggi, dan dihempaskan ke bumi, berulang-ulang, dan oleh berbeda-beda orang.

Look inside, apakah selalu kita berada dipihak yang sedemikian kejamnya itu? Pertimbangkan pula kemungkinan-kemungkinan tentang orang lain yang justru mendapatkan perlakuan tak enak itu dari kita sendiri. Kita yang merasa selalu tertindas. Dan bagaimana bila orang lain tersebut adalah orang tua kita? Yang selalu kita jadikan tempat berkeluh kesah dan meminta nafkah, tapi justru dilupakan perannya ketika kita bahagia. Padahal mereka sudah menjadi pendengar yang luar biasa baik dan sabar.

Let her go, yakinkan Allah selalu punya rencana. Mungkin dia bukan yang terbaik, dan mungkin bukan yang tepat. Allah tau tiap kepingan yang cocok untuk kepingan-kepingan lainnya. Tapi, bukankah dia memang tak masuk rencana dari dulu dan sejak awal? Saya lupa, jawabannya di paragraf ketiga.

Bukan berarti jangan lagi berharap, bukan pula tidak lagi menjadi pendengar yang baik, tapi ikhlaslah. Allah tidak hanya ada di Jakarta atau di surga, Allah telah mengemas kotak kecil berisi imbalan atas usaha kita. Dan imbalan Allah tak harus diterima saat ini juga, karena imbalan Allah bersifat kekal, dan kekekalan itu sejatinya tak berdimensi.
 

Gemahpedia Copyright © 2011 - |- Template created by O Pregador - |- Powered by Blogger Templates