Monday, November 12, 2012

0 Kita

Tulisanmu itu membuat berbagai ekspresi ku keluar. Tertawa kecil, senyum, hingga terdiam mendalam pertanda betapa seluruh kebahagiaan kita sedang lepas.

Benar, benar sekali. Aku dan kamu sudah kurang lebih 6 tahun mengenal, dan sudah menjalani berbagai riak kehidupan. Tapi, pernah kamu terpikirkan, bahwa yang selama ini aku dan kamu cari hanyalah sebuah bentuk nyata dari satu kata 'kita'? Aku dan kamu selalu bilang 'kita' dari dulu. Aku dan kamu selalu merancang geometri masa depan dengan 'kita' sebagai pelaku tunggal. Dan ternyata, Allah memang tidak tidur. Allah memberikan jawaban atas bagaimana bentuk 'kita' yang adil bagi aku dan kamu.

Bukannya menyatukan ataupun memisahkan aku dan kamu, tetapi Allah menyisipkan 2 orang pemain baru dalam panggung ini, dia-mu dan dia-ku, Shof. Aku dan kamu selalu dibutakan romansa dan indahnya masa lalu sehingga lupa bahwa sebuah kata 'kita' terdiri dari minimal 2 orang. Minimal! Bukan berarti harus 2. Kini kita beranggotakan 4 orang, kedepan mungkin 8 orang, mungkin juga 9.

Nanti kita akan berada dalam satu tempat dan berbahagia, dan berbincang, dan kita sadar bahwa itulah yang dinamakan 'semua akan indah pada waktunya'.

Nanti kita akan berada dalam satu tempat dimana masa lalu aku dan kamu terkuak, dan kita tertawa, dan kita malu, dan kita sadar bahwa itulah yang dinamakan 'semua akan lucu pada waktunya'.

Dari dulu aku dan kamu selalu berkutat tentang ikhlas. Keikhlasan ku lebih tepatnya. Karena kamu tentu ingat, kapan sih aku pernah ikhlas melepasmu? Setelah tau sedemikian indahnya akhir dari cerita panjang aku dan kamu ini, aku menyesal mengapa tidak dari dulu aku melepaskan belenggu dan berkata: "aku ikhlas!". Itulah mengapa Allah tidak tidur. Ia mau kita terlibat dalam proses-Nya.

Tapi...hei! Aku kembali ke tulisanmu 1,5 tahun yang lalu. Bisa-bisanya kamu mengajariku tentang nyali! Kini dengan jumawanya aku berkata bahwa aku sudah punya nyali. Hahaha!

Thursday, October 18, 2012

0 Crisis

Italia, dulu sempat menjadi magnet dan kiblat sepakbola dunia, dimana liga domestik, Eropa, hingga dunia mengenal klub dan tim nasionalnya. Dulu. Ibarat roda, sepakbola Itali sedang mengitari siklusnya. Masa-masa keemasan sedang semakin menjadi perbincangan yang tak relevan lagi. 2010, tahun dimana Inter Milan menjadi juara Eropa, seolah sudah terjadi lebih dari 2 dekade. Perputaran bahan obrolan sepakbola seakan begitu cepat meninggalkan tanah Itali.

Tahun ini semakin menjadi suram saja, scommessopoli datang ketika klub-klub sedang berada dalam kondisi finansial sekarat. Ketika konstelasi klub-klub sudah berada pada jalur yang tepat, kasus pengaturan skor merebak dan melibatkan pemain hingga pelatih. Jangankan terlibat dan menerima suap, tutup mulut seperti yang dilakukan Conte pun didenda berat.


Di bursa transfer klub-klub Itali sulit bersaing. Milan melalui 'Kojak' Galliani ditertawai presiden Montpellier ketika menawar Yanga Mbiwa dengan harga dibawah pasaran, Inter Milan kalah bersaing dengan PSG untuk mendapatkan Lucas Moura, Juventus menemui jalan buntu dalam usahanya mendapatkan Van Persie. Sepakbola Italia seakan hilang kemagnetannya dimata pemain top Eropa, yang pasti menganggap Inggris dan Spanyol sebagai tempat yang lebih nyaman dari segi pendapatan ataupun kekompetitifannya.

Tinggalkan sejenak Italia, kita lihat sepakbola Jerman. Klub-klub Jerman sempat mengalami krisis, namun sayang saya lupa kapan itu terjadi tepatnya. Cash flow klub yang pas-pasan menjadikan mereka harus jeli, jelas, dan tepat untuk urusan transfer. Beli semurah-murahnya, dan jual semahal-mahalnya. Pilihan pemain tentu berkisar antara pemain lokal, ataupun pemain murah meriah dari benua lain.

Hikmahnya, pemain-pemain asli Jerman mendapat minute play yang lebih banyak dan regenerasi berjalan lancar. Tak pelak Jerman kini menjadi produsen pemain bertalenta dan membuat klub-klub kaya Eropa ngiler lalu rela merogoh kocek dalam-dalam. Mesut Oezil, Sami Khedira, Marko Marin, dan Kagawa adalah produk-produk yang dicetak kompetisi Bundesliga.Imbas lainnya, Joachim Low justru kebanjiran stok untuk setiap pos pemain di timnas.

Jenjangnya kurang lebih demikian, pemain-pemain muda lokal biasanya bermain di klub menengah kebawah, entah itu asli binaan klub ataupun pinjaman dari klub papan atas. Bila bermaian apik, mereka akan 'naik pangkat' berupa dibeli klub yang lebih besar, yang berlaga di kompetisi Eropa. Ketika berlaga di Eropa dengan performa manawan, mental akan semakin terbentuk, dan level permainan kian meningkat, maka mereka akan berlabel the rising star. Selanjutnya tinggal meningkatkan kompetisi dengan bermain diluar ataupun berada di klub besar lokal.

Jangan palingkan perhatian dari ranah Spanyol yang menjadi sedemikian jayanya di dunia berkat strategi serupa. Pemain-pemain kian bermunculan dan bermain di level tinggi seakan-akan memaksa senior-seniornya pensiun dini. Seperti halnya candu, Jerman dan Spanyol tak ingin beranjak dari kursi nyaman ini. Parameter kesuksesan tim tak lagi diukur dari trofi yang terpajang, tapi juga pembinaan.

Sekarang, mampukah klub-klub Italia menerapkannya? Fakta yang menjadi tantangan terbesar disana saat ini adalah hanya Juventus satu-satunya klub yang memiliki stadion pribadi, lainnya masih numpang dari stadion milik pemerintah kota. Otomatis, pengeluaran klub menjadi bertambah, mengingat selain biaya pemeliharaan, mereka harus membayar fee atas peminjaman itu. Di tengah krisis yang melanda Eropa saat ini, pantas untuk ditunggu bagaimana kiprah klub-klub Italia di musim-musim mendatang. Mampukah mereka mengadaptasi blueprint sepakbola Spanyol dan Jerman?

Namun pertanyaannya, bila Spanyol, Jerman, dan disusul lagi Italia, serta negara-negara Amerika Latin terus memproduksi pemain, siapa yang akan membelinya? Ah, selama minyak masih menjadi bahan bakar utama, dan klub-klub Inggris masih dimiliki pengusaha Timur Tengah, pertanyaan terjawab sudah. Linier, selama itu pula kompetisi liga Inggris akan gemerlap, dengan pemain bintang dari berbagai penjuru dunia menyatu disana, serta fans timnas Inggris terus menunggu dan menunggu kapan trofi dipersembahakn timnasnya. Sebuah ironi, tapi tampaknya saya yakin penggemar sepakbola Inggris lebih legowo bila ini disebut sebagai sebuah konsekuensi. Iya kan? Namun bagi saya, itu adalah bentuk lain dari krisis untuk sepakbola Inggris.

Wednesday, October 17, 2012

0 What To Expect When You're Expecting

Lihat sekitar, ada saja orang-orang yang memiliki peran tak nyaman. Menjadi orang yang tepat, disaat yang tepat, dan berada di tempat yang tepat bukan hasil akhir tentang apa peran kita bagi orang lain.

Pernah cuma atau selalu menjadi tempat yang nyaman bagi seseorang ketika ia murung? Dan menjadi tempat yang tak layak dikunjungi ketika ia bahagia? Idealnya setiap orang ingin menjadi berguna bagi orang lain, membahagiakan orang, dan melepas kesedihan orang. Namun salah paham selalu terjadi pada akhir cerita. Berharap mendapat tempat di hati orang tersebut, tapi justru dijadikan tempat mampir dan melepaskan penat saja. Some heart is just a rest area.

Jangan salahkan orang. Bukankah niat dari awal adalah membantu tanpa imbalan? Kenapa ketika semua selesai berharap balasan setimpal? Cinta tak mempunyai satuan dan tak berdimensi. Kapan cinta datang, ia bukanlah waktu. Dimana cinta berada, ia bukanlah jarak. Dan seberapa besar cinta itu sendiri, ia bukanlah ruang.

Semakin beranjak dewasa, semakin tau bahwa peran ini tak mampu untuk lepas. Bisa saya menjadi sosok yang antipati dan apatis? Menjadi seorang pendengar itu bukan perkara gampang, tapi menjadi pendengar sejati itu hal yang mulia. Namun bagi orang yang lain, mungkin ini sebuah kutukan. Kutukan yang selalu menjadikan dirinya disempal harapan-harapan palsu tiap saat. Membawanya terbang melayang tinggi, dan dihempaskan ke bumi, berulang-ulang, dan oleh berbeda-beda orang.

Look inside, apakah selalu kita berada dipihak yang sedemikian kejamnya itu? Pertimbangkan pula kemungkinan-kemungkinan tentang orang lain yang justru mendapatkan perlakuan tak enak itu dari kita sendiri. Kita yang merasa selalu tertindas. Dan bagaimana bila orang lain tersebut adalah orang tua kita? Yang selalu kita jadikan tempat berkeluh kesah dan meminta nafkah, tapi justru dilupakan perannya ketika kita bahagia. Padahal mereka sudah menjadi pendengar yang luar biasa baik dan sabar.

Let her go, yakinkan Allah selalu punya rencana. Mungkin dia bukan yang terbaik, dan mungkin bukan yang tepat. Allah tau tiap kepingan yang cocok untuk kepingan-kepingan lainnya. Tapi, bukankah dia memang tak masuk rencana dari dulu dan sejak awal? Saya lupa, jawabannya di paragraf ketiga.

Bukan berarti jangan lagi berharap, bukan pula tidak lagi menjadi pendengar yang baik, tapi ikhlaslah. Allah tidak hanya ada di Jakarta atau di surga, Allah telah mengemas kotak kecil berisi imbalan atas usaha kita. Dan imbalan Allah tak harus diterima saat ini juga, karena imbalan Allah bersifat kekal, dan kekekalan itu sejatinya tak berdimensi.

Monday, September 3, 2012

1 Untold

Hitler, Mussolini, Palin? Atau Soeharto? Atau yang masih segar diingatan seperti Mubarrak dan Khadaffi? Silahkan pilih salah satu yang dianngap sebagai diktator.

Diktator dibagi ke dalam 2 masa, sebelum Perang Dunia II dan setelah Perang Dunia II. Sebelum PD II, diktator identik dengan keberingasan dan haus kekuasaan. Bla bla bla mengenai sepak terjang Hitler cs. tak akan sukar untuk dicari. Dunia mengenang mereka sebagai orang terkejam yang pernah ada di muka bumi ini.

Setelah PD II, tren mengalami pergeseran. Sadar bahwa berperang secara frontal akan menyudutkan mereka, para diktator mengubah pola kepemimpinan. Bukan lagi melawan, tapi justru bersekutu dengan negara yang mengaku memenangi PD II, Amerika Serikat. Di negri kita sendiri, lebih dari 30 tahun Soeharto berkuasa dan menyuplai asupan harta anak cucunya agar terjaga sampai 7 keturunan kelak. Mubarrak dan Khadaffi juga setali tiga uang. Ketiganya berkiblat ke negara adidaya Amerika Serikat. Kekayaan alam yang melimpah ruah di Indonesia, Mesir, dan Libya menjadikan AS merasa wajib menempatkan perwakilannya agar dapat menguasai energi dan mineral dalam diri Soeharto, Mubarrak, dan Khadaffi.

Bukan mengenai tokoh-tokoh diatas yang menjadi bahan perbincangan di ngobrol kupong kali ini, tapi adalah pengawas di asrama, insial KB.

KB, seingat saya, datang dan bekerja di asrama saat angkatan 3 masih bermukim di Pemali. Selentingan terdengar jika ia kurang bisa diterima di angkatan 4 kendati sudah sebagai pengawas disana. Angkatan 5, belum, ia belum berkuasa dan kesangarannya tidak begitu mampu menjadi angkatan 5 tunduk dibawah pengaruhnya.

Setahun pertama saya diasrama belum bisa menbaca pola-pola apa saja yang ia terapkan. Tahun kedua, atau ketika kami sudah punya adik kelas, muncul lah nama Tohari. Tahun ketiga, nama Duha naik ke permukaan. Kedua orang ini mendapatkan perlakuan yang sama dengan saya ketika pertama kali menginjakkan kaki di asrama. Kami bertiga seperti halnya Soeharto, Mubarrak, dan Pemimpin Libya yang harus tunduk kepada perintah AS. Kamilah perwakilan KB. Kami seperti halnya "terpilih".

Ketika Orde Baru masih berjalan, sering terdengar istilah "Asal Bapak Senang" dan "Berdasarkan Instruksi Bapak Presiden". Itu pula yang kami lakukan sebagai deputi KB. Segala instruksi yang ia berikan akan segera diteruskan sebagai misi mewujudkan "Asal Kakak Senang" dan mengawalinya dengan lafas "Kata Kak B...".

Saya pikir lagi jauh mundur kebelakang, bagaimana bisa ia mendapatkan orang-orang yang tepat? Ini jelas bukan gambling atau hom pim pa. Psikotes, menurut saya dari situlah ia mendapatkan gambaran. Saya belum menanyakan ini dengan Ayim, tetapi saya berkeyakinan inilah sumbernya.

Harus diakui bahwa ia salah satu orang yang gemar mengadakan mind game, ia terlihat maniak dengan hal-hal yang berbau psikologi, membaca karakter orang satu per satu dan menyelaminya dengan cara-cara berbeda pula. The Best Friend Ever, untung saya memiliki mereka. Saya tersadar ketika mereka banyak yang berkata bahwa saya terlalu tunduk atas instruksi KB, kurang lebih satu tahun. Menurut saya, ia terlalu memaksakan apa yang ia mau terhadap siswa diasrama. Ia membangun asrama sebagai kerajaannya dengan hukum tidak tertulis. Namun ia terkadang lupa bahwa 40 orang yang ada diangkatan 7 ini terlahir 1000 tahun sekali. Kamilah angkatan dengan kemajemukan watak. Ilmunya tampak belum cukup untuk meredam kehausan kami akan kebebasan dan kami menempatkan orang-orang seperti ia ke jajaran para diktator.

Setahun saya rasa cukup. Perlahan saya mulai menjauh dan justru memulai gerakan-gerakan yang Anti-KB. Pemikiran saya saat itu sederhana, apakah harus saya terus-terusan berada dipihak berseberangan dengan teman-teman? Lagi pula saya yakin, teman-teman saya bukan berasal dari keluarga setan yang akan menjerumuskan sesama teman. Dan bila boleh sedikit sombong, setelah saya resign, ia tak lagi punya kaki tangan yang bisa menguasai angkatan 7, sebaik saya.

Jadilah kami angkatan yang dicap paling susah diatur, bandel, liar, apalah. Semua hanya karena kami tak tunduk aturan KB. Tapi kami tumbuh dengan cara yang kami bilang kebebasan. Cukuplah pagar Pusdiklat PT Timah yang menjadi belenggu kami, tidak lagi untuk kepemimpinan dan hukum tak tertulis KB. Asah, asih, asuh malah kami dapatkan ketika KB tak pernah nampak ataupun resek ke angkatan kami. Kami lah anak, kami lah orang tua, kami lah kakak, dan kami lah adik bagi angkatan kami sendiri, Fantastic 40. Ah, coba dari dulu-dulu ini nama angkatan kami.

Apa benar kami ini angkatan yang paling paling paling kata oknum itu? Tanya dengan masyarakat Pemali, pernah kami bertikai atau rusuh dengan mereka? Pernah ada pemuda Pemali yang memanjat pagar asrama untuk mengajak duel anggota angkatan kami karena tersinggung setelah mengajungkan jari tengah kepada mereka? Pernah kami bertindak asusila? Aha, saya tahu, ini klise. Mungkin kami disebut demikian karena sesungguhnya mereka ingin kami terus dan terus belajar, dengan cara membenamkan kami. Atau mungkin, mungkin sih, ini bentuk frustasi karena kami tidak bisa dijadikan tunduk pada rezim KB dan kemudian kami disematkan ini itu? Yah, kriminalisasi lah bahasa kerennya! Seperti yang dilakukan kepada orang-orang bersih dan vokal di pemerintahan, DPR, ataupun parpol, seperti Antasari Azhar.


Saat ini saya kurang tau atau tepatnya tidak mau tau dengan asrama. Entah bagaimana kini disana, apakah kerajaan itu telah berdiri kokoh atau belum. Dan, bagaimana dengan para deputi kerajaan? Entahlah.

Friday, May 4, 2012

0 Pemeran Antagonis Sepakbola Modern

 "Dewasa ini permainan menyerang kerap dibumbui aksi diving dan permainan bertahan dihiasi kontak fisik yang cenderung ekstrim"
 Inggris adalah tanah lahirnya sepakbola, dan disana pula terdapat kompetisi tertua sedunia dan liganya yang dikenal terbaik seantero jagad. Namun bila kita menengok paling tidak 1 lustrum kebelakang, kiblat sepakbola telah berpindah ke Semenanjung Iberia, barat daya Eropa. Ya, tanah itu adalah Spanyol. Dan pergeseran kiblat dunia sepakbola ini harus diakui salah satunya karena dominasi Barcelona di Eropa. Nyaris di semua kompetisi yang mereka ikuti menampatkan klub yang bermarkas di Camp Nou ini pada unggulan pertama.

Jutaan hingga milyaran pasang mata tak hanya tertegun dengan rekor demi rekor yang telah terpatri, tetapi merasa seakan tak percaya ketika Barcelona kalah dari tim lain.Pada 2010 lalu, publik tentu masih ingat bagaimana ekspresi Jose Mourinho di Camp Nou ketika berhasil menyingkirkan anak asuhan Guardiola pada babak semifinal Liga Champions dan menjadi juara setelah mengalahkan Bayern Muenchen di kandang Real Madrid.


Kurang lebih 2 tahun berselang, pada ajang dan babak yang sama, dan pada tempat yang sama yakni Camp Nou, Barcelona kembali harus tertunduk lesu ketika mereka gagal melangkah ke final setelah disingkirkan Chelsea. Barcelona pun harus mengubur dalam-dalam impian mereka untuk menjadi juara back to back Liga Champions.


Entah kenapa, selalu ada pandangan skeptis dari publik ketika Bercelona kalah dan tersingkir. Setidaknya kita bisa menerka, alasan utamanya adalah taktik bermain yang diterapkan Inter Milan dan Chelsea. Mourinho dan Di Matteo benar-benar mampu membuat pemain Barcelona frustasi dengan taktik yang mereka terapkan. Kuncinya sama, catenaccio dan counter attack.


Pada 2010 di Giuseppe Meazza, Inter Milan menang 3-1 lewat permainan yang efektif. Tak banyak menguasai bola dan mampu mengkonversi peluang sekecil apa pun menjadi gol. Di Camp Nou mereka tak mampu membuat gol, yang mereka lakukan adalah bertahan dan bertahan. Alhasil, Barcelona hanya mampu mencetak satu gol dan itu tak mampu untuk menyamakan agregat gol.


Pada 2012 di Stamford Bridge, Barcelona seakan déjà vu dengan permainan Chelsea, mengingatkan mereka dengan pertandingan 2 tahun lalu di Italia. Adalah Drogba yang mencetak satu-satunya gol pada pertandingan itu setelah memanfaatkan kesalahan kecil yang dibuat Messi. Melawat ke Spanyol, Chelsea pantas jumawa karena justru mampu membuat 2 gol untuk memaksa hasil akhir menjadi 2-2 hanya dengan 10 orang pemain setelah John Terry diusir wasit.


Usai pertandingan itu, Chelsea banjir pujian dan juga makian. Di Inggris tentu saja mereka dielu-elukan karena menjadi penyelamat muka sepakbola Inggris sekaligus penegasan bahwa kiblat sepakbola itu belum sepenuhnya berpindah ke Spanyol. Namun dilain pihak mereka dikecam karena taktik mereka yang anti football atau bahkan menjurus ke character assassination terhadap permainan Barcelona yang indah dan menyerang. Nada sinis dan skeptis salah satunya keluar dari legenda Jerman, Gunter Netzer. Menurutnya, Chelsea memperagakan permainan yang konyol dan menghalalkan segala cara untuk mencapai final, bahkan bukan tak mungkin dengan cara yang sama untuk merengkuh trofi Liga Champion pertamanya kelak.


Namun sebagai seseorang yang netral (bukan fans Barcelona dan Chelsea), saya menilai bahwa permainan Chelsea sama sekali tak mencederai sepakbola. Tak ada aturan yang melarang permainan ultra defensive dan Chelsea tak melanggar aturan apapun. Mereka bermain dengan sportif, aksi-aksi 'teatrikal' pun tak banyak terjadi. 3 gol yang dicetak Chelsea di 2 leg semifinal lahir dari permainan fair dan bukan dari penalti kontroversi atau 'hadiah' dari sang pengadil.


Bermain seperempat lapangan dan hanya menempatkan satu striker didepan jelas bukan pertanda bahwa Chelsea tim pengecut yang tak berani bermain keluar menyerang untuk meladeni Barcelona. Sebagai caretaker, Di Matteo patut disanjung karena kecerdasannya dalam mengambil keputusan. Sadar bahwa ia hanya pejabat sementara dan mulai bekerja saat kompetisi sudah bergulir, ia pun tak punya banyak pilihan mengenai komposisi pemain. Lantas, ia hanya menerapkan strategi yang dirasa tepat dengan karakter pemain-pemainnya. Patut diingat, beberapa pilar Chelsea saat ini adalah warisan dari Mourinho.


Mendaratnya berbagai cibiran dan kritikan ke kubu Chelsea hanya karena publik yang kadung jatuh cinta dan terhibur dengan permainan Barcelona. Di Matteo jelas lebih mengutamakan tiket final ketimbang standing applause dari penononton karena mereka bermain menyerang meskipun harus kalah dan tersingkir.


Pencinta konsep total football dan anti football selalu bersebrangan dan tak bisa bertemu dalam satu persepsi yang sama. Dewasa ini permainan menyerang kerap dibumbui aksi diving dan permainan bertahan dihiasi kontak fisik yang cenderung ekstrim. Dua-duanya menandakan bahwa kedua konsep ini bukanlah konsep yang maha benar dan tanpa cacat. Menyerang dan bertahan adalah dua konsep yang bersebrangan dan keduanya dihalalkan dalam sepakbola. Hanya saja, bila ini dituang dalam kisah sinetron, permainan bertahan terkadang berperan sebagai pemeran antagonis.

Monday, April 16, 2012

0 Lubang Jarum Ke-3


"Apakah Anda mencintai timnas Indonesia?"
"Anda pikir untuk apa saya datang kesini?"

Petikan percakapan itu hadir di sela-sela Acara BBM Show yang disiarkan Indosiar. Saat itu Alfred Riedl datang sebagai tamu dan menjawab beberapa pertanyaan di acara itu. Seperti biasa, sikapnya yang dingin dan mahal senyum masih terlihat jelas di wajahnya yang kian menua.

PSSI versi La Nyalla Mattalitti (LNM) melakukan langkah cepat usai kongres KPSI dengan memasukkan nama Riedl dan Rahmad Darmawan untuk mengisi pos pelatih timnas senior dan U-23. Indonesia yang sudah menjadikan Riedl dan istri sebagai tempat tinggal yang nyaman, ditambah kedekatannya dengan banyak pihak ketika berada di Indonesia menjadikan rencana PSSI versi La Nyalla itu bak gayung bersambut. Tak nampak sedkit pun kode penolakan dari pria Autria itu.

Tak mau ketinggalan, PSSI versi Djohar Arifin Husain (DAH) pun menunjuk arsitek tim Kebau Sirah Semen Padang, Nil Maizar sebagai pelatih kepala timnas senior. Ditambah lagi kebebasan untuk menyeleksi pemain termasuk mereka yang tergabung di ISL, liga yang pada rezim DAH ini dianggap sebagai breakaway league. Kedua PSSI ini tengah bersiap-siap untuk mengikuti turnamen Al-Nakba di Palestina, 13-23 Mei nanti.

Kita semakin gusar dan gundah saja melihat sepakbola kita. Kini kita punya 2 federasi sepakbola dan 2 tim nasional. Entah dimana lagi kita harus menempatkan konsentrasi. Padahall infrastruktur masih minim, pembinaan usia dini masih jauh panggang dari api, federasi yang bertugas menyelesaikan masalah pun masih sedang mencari jati diri.

Lubang Jarum Ke-3

Kisruh sepakbola kita dimulai saat kepengurusan Nurdin Halid, dengan tema saat itu adalah statuta. Ya, saat itu statuta menjadi perdebatan panas dimana PSSI dituding melakukan penyelewengan. Timnas saat itu terancam gagal tampil di Piala AFF bahkan bisa-bisa dikenakan larangan tampil di kancah internasional akibat keributan pengurus, dualisme kompetisi, serta campur tangan pemerintah. Namun rintangan mampu kita tebas, timnas berlaga di Piala AFF dan kemudian rezim Hurdin Halid pun tumbang.

Singkat cerita, DAH naik singgasana PSSI. Hari itu adalah hari Sabtu, dan pada hari Rabu ia langsung membuat publik terhenyak ketika memecat Riedl. Keputusan yang membuat banyak orang berang mengingat Riedl telah kadung menjadi pujaan. Dampak memang tak terasa karena timnas mampu melangkah ke putaran kualifikasi Piala Dunia 2014. Walau pada akhirnya timnas kita babak belur dikalahkan Bahrain 10-0 pada laga terakhir kualifiasi grup.

Belum genap setahun, PSSI kisruh lagi. Kali ini masalah format dan peserta kompetisi yang menjadi pemantik api. Tak kunjung ketemu titik ekuilibrium, muncullah dualisme kompetisi. Seperti ketika era NH, pelakunya masih sama yakni IPL dan ISL. Hanya saja kali ini IPL berada ditangan penguasa sehingga dianggap liga yang legal dan ISL sebaliknya. Lagi-lagi, media menghembuskan berita tak sedap bahwa timnas U-23 akan dilarang tampil di SEA GAMES 2011 dimana Indonesia menjadi tuan rumah penyelenggaranya. Dan lagi-lagi, kita lolos dari lubang jarum untuk yang kedua kalinya.

Piala AFF 2012 akan menjadi 'cobaan' pertama bila sanksi FIFA benar-benar datang dalam waktu dekat. Lantas geliat apalagi yang akan dilakukan PSSI? Lobi tingkat tinggi seperti yang telah dilakukan sebelum-sebelumnya? Yang pasti, kisruh PSSI kini jauh lebih panas ketimbang sepakbola itu sendiri.

Saturday, March 10, 2012

0 Football Manager

Jujur saja, ini adalah game yang paling monoton yang pernah saya mainkan, dan juga diamini oleh beberapa gamer yang saya temui di dalam beberapa forum FM. Tapi seakan mengandung sihir, game ini tak pernah bosan untuk dimainkan. Bagi saya, game ini bisa menyalurkan kegilaan pada sepakbola, bisa mengaplikasikan taktik klub-klub favorit, hingga menjadi 'bahan ajar' untuk meluaskan pengetahuan akan sepakbola.

Sebagai contoh, kita bisa tau track record pemain A mulai dari youth team hingga klub dimana ia sekarang berada. Kita juga bisa menciptakan fantasi kita pada tim favorit, semisal menginginkan Ibrahimovic berduet dengan Benzema, atau memasukkan pemain legenda dalam jajaran staff. Bahkan, kita juga bisa bertingkah kontroversial seperti Jose Mourinho dengan melancarkan serangan-serangan kepada pelatih lain.

Mungkin terasa biasa saja atau bahkan hambar bagi rekan-rekan yang belum pernah memainkan game ini, persis seperti yang saya alami 4-5 tahun lalu. Namun setidaknya sihir dari game ini dirasakan langsung oleh pengurus klub Inggris, Everton. Pada 2008 lalu Everton meneken kontrak dengan Sport Interactive selaku pemilik dari game ini. Everton menggunakan database pada FM untuk dijadikan acuan scouting pemain-pemain muda. Masuk akal memang, karena parameter-parameter yang ada di FM cukup mewakili bahkan kompleks terhadap skill individu pemain.

FM mempercayakan database yang mereka punya berdasarkan 1000 pemandu bakat di 50 negara untuk memonitor sekitar 20.000 tim. Dan dengan kerja sama ini Everton akan mendapatkan exclusive access dari database FM.

Salah satu bukti paling sahih keakuratan data FM adalah ketika Wayne Rooney dan Lionel Messi dilabeli wonderkid dan diprediksi akan menjadi pemain termahsyur didunia. Dan sekarang, prediksi itu memang benar terbukti.


Semoga saja FM menambah jumlah scout-nya di Indonesia, karena bagi saya data yang diberikan belum begitu akurat seperti aslinya. Mulai dari pemain hingga kompetisi. Namun ada juga beberapa gamer yang melakukan improvisasi sendiri dengan menambah patch kompetisi-kompetisi lokal dan regional. Mungkin Indonesia bisa menjadi negara pertama yang teken kontrak dengan Sport Interactive untuk membantu kinerja pelatih tim nasional. Bahkan, bila mungkin, juga dimasukkan data mengenai pengurus asosiasi sepakbola. Seperti kemampuan mengurus liga, merangkul golongan lain, kerentanan terhadap korupsi, hingga kemampuan mengakhiri konflik.

Bagaimana, Pak Djohar, Menpora, KONI, dan kelompok yang merasa selalu tertindas?

Friday, March 9, 2012

0 Milan Minimalis

Kata-kata minimalis awalnya dikenal dalam dunia seni, yang dicirikan dengan kesederhanaan baik dalam bentuk dan isi. Kini, sejak tahun 2000-an konsep minimalis ini lebih kerap terdengar dalam bidang usaha properti terutama rumah. Rumah minimalis yang sebenarnya sudah dikenal sejak tahun 1920 ini menjadi pilihan baru bagi konsumen. Konsep ini bisa juga disebut sebagai aksi protes atas desain-desain lama yang dikenal boros dan cenderung meninggalkan aspek efektifitas bahan baku.

Yang diutamakan dari konsep ini ialah sifat fungsional dan esensialnya, sehingga walaupun banyak ornamen yang dihilangkan tidak akan menjadikan rumah minimalis sebagai rumah yang serba kekurangan.

Konsep minimalis ini pula yang dalam beberapa tahun terakhir digunakan Milan sebagai cara membangun kekuatan tim. Kebijakan ini sempat dipertanyakan para tifosi karena sejak 2007 Milan mandek prestasi. Barulah pada musim 2010/2011 kerja keras jajaran klub membuahkan hasil berupa scudetto ke-18.

Pada musim panas 2010 Milan memang sedikit lebih meningkatkan pengeluaran mereka untuk membeli pemain yang dibanderol tinggi seperti Irahimovic dan Robinho. Total pengeluaran Milan saat itu adalah
€28.500.000, dan berbuah trofi scudetto. Itupun masih dikurangi total pemasukan Milan dari penjualan pemain sebesar €18.500.000. Bandingkan dengan Juventus yang total pengeluarannya €56.450.000 dan pemasukan €31.975.000. Hasilnya? Jatah Europa League pun tak mempu mereka rengkuh.

Bila mau menandingi dengan kekuatan transfer liga-liga lain, Real Madrid mengeluarkan €81.000.000 dan Manchester City €145.450.000. Namun diakhir musim adalah Barcelona dan Manchester United yang keluar sebagai kampiun yang masing-masing mengeluarkan €69.500.000 dan €26.800.000.

Galliani dan Financial Fair Play

Efektifitas menjadi kunci dari transfer Milan. Pemain utama dari kebijakan ini adalah CEO Milan, Adriano Galliani. Ialah yang mengatur segala macam bentuk transfer Milan, termasuk pelatih. Dan syukurnya Milan mempunyai 'pelayan' loyal seperti Galliani. Selain dikenal sebagai negosiator ulung, ia pun jeli dalam melihat kebutuhan tim.

Ketika membeli Ibrahimovic dan Robinho Milan ibaratnya mendapat durian runtuh. Harga kedua pemain ini sedikit lebih murah dari harga awal yang dirilis Barcelona dan Manchester City. Galliani dengan jeli memanfaatkan kondisi Ibra dan Binho yang tak lagi betah di Spanyol dan Inggris. Berbekal tanah Itali yang mempunyai kesan manis bagi Ibra, tawaran peminjaman plus opsi pembelian akhirnya tak mampu ditolak Barca. Dan kondisi Milan yang selalu menjadi rumah kedua bagi para pemain Brazil akhirnya meluluhkan Manchester City untuk melepas Robinho.

Jangan lupakan pula 'Prince' Boateng yang dibeli dengan cara yang aneh, tetapi berandil besar dalam langkah Milan. Ia dibeli Genoa ketika klub lamanya, Portsmouth bangkrut dan terdegradasi. Namun, tak sempat menginjakkan kakinya di markas Genoa, ia langsung dipinjamkan ke Milan dengan opsi pembalian diakhir musim.

Musim ini, kejelian Galliani kembali membuahkan hasil. Noccerino diboyong ke San Siro "cuma" dengan €500.000, Mexes didapatkan dengan gratis, dan Aquilani didapatkan dengan pinjam plus klausul pembelian setelah memainkan 20 laga. Konstribusi ketiganya sejauh ini sangat memuaskan, terutama pos yang mereka isi adalah pos dimana selama ini nama-nama uzur seperti Gattuso, Seedorf, dan Nesta bermain.

Ketika Milan dicap sebagai sebuah panti jompo yang bermaterikan pemain uzur, langkah penyegaran skuad dilakukan Galliani. Tak seperti klub-klub lain yang cenderung membeli pemain baru untuk mengisi pos-pos pemain tua, langkah pertama Milan adalah merekrut Max Allegri. Secara pengalaman, Allegri tak mempunyai track record bagus. Klub-klub yang ditanganinya pun cuma tim-tim medioker. Tetapi yang membuat Galliani kepincut adalah kemampuan Allegri dalam memaksimalkan pemain muda.

Dengan memberikan "modal" seperti Robinho dan Ibrahimovic, Allegri akhirnya mampu membawa kejayaan bagi Milan. Tidak hanya itu, pemain dari tim primavera Milan seperti Merkel dan Strasser pun diberikan kesempatan mencicipi beberapa laga Milan di Serie-A. Musim panas 2011 Milan pun dengan yakin membeli El Sharaawy dari Genoa yang masih belia. Dan hasilnya dibawah olesan Allegri, El Sharaawy mampu menunjukkan kelasnya.

Langkah yang selama ini dilakukan Milan nampaknya akan diikuti klub-klub Eropa lainnya.
Saat ini tercatat 50% klub belanja melebihi pemasukan mereka, dan akhirnya mereka merelakan klub mereka terjebak hutang dan akhirnya bangkrut. Maka, pada 2009 EUFA mencetuskan ide dengan mengeluarkan regulasi Financial Fair Play, dimana klub-klub akan dilarang mengeluarkan dana untuk keperluan belanja pemain melebihi pemasukannya. Financial Fair Play direncanakan akan mulai diberlakukan kepada klub-klub Eropa selepas pagelaran EURO 2012. Dan pemilik AC Milan, Silvio Berlusconi sepertinya juga tak ingin merusak hubungan baiknya dengan Platini selaku ketua EUFA dengan melanggar Financial Fair Play ini.

Tuesday, February 21, 2012

0 Anglo Italian

Bila mengacu pada data pengoleksi trofi Liga Champions, La Liga Spanyol pantas untuk membusungkan dada karena hingga saat ini mereka masih mengungguli Itali (11) dan Inggris (12) dengan 13 trofi. Namun malangnya bagi pencinta La Liga, 13 trofi tersebut hanya tersebar ke dua klub, Madrid dan Barcelona. Berbeda dengan Itali dan Inggris yang pendistribusian trofi lebih dari dua klub. Ini megindikasikan bahwa kekuatan tim-tim Itali dan Inggirs jauh lebih merata ketimbang Spanyol. Berangkat dari data ini pula mengapa setiap pertemuan tim-tim Inggirs dan Itali selalu ketat dan diwarnai tensi tinggi. Probabilitas tim dari Itali dan Inggris bertemu memang lebih besar ketimbang dengan tim-tim dari Spanyol. Saking panasnya tiap pertandingan yang mempertemukan wakil Inggis dan Itali hingga media-media disana menjulukinya sebagai Anglo-Italian.

Setidaknya hingga musim 2010/2011, Anglo-Italian telah digelar sebanyak 76 kali, dengan 35 kemenangan untuk Inggris, 22 untuk Itali, dan 19 partai sisanya berakhir imbang. Musim ini Anglo-Italian kembali mentas kala Milan bersua Arsenal, dan Napoli kontra Chelsea. Bagi Milan, musim ini mereka membawa misi untuk mengakhiri kutukan tak lolos dari babak 16 besar, yang sialnya selalu tim Inggris yang menamatkan kisah mereka di Liga Champions selama 3 musim berturut-turut. Mulai dari Arsenal (2007/2008), MU (2009/2010), dan Tottenham Hotspur (2010/2011).

Meski tak punya unsur rivalitas tinggi dengan tim Inggris, Napoli datang ke panggung Liga Champions musim ini untuk membuktikan bahwa kejayaan Napoli telah kembali seperti pada era Maradona. Mereka tentu ingin mengikuti kisah Tottenham Hotspur musim lalu yang mampu lolos dari 16 besar meski berstatus tak diunggulkan sejak awal musim, sekaligus membalas dendam karena lawan yang disingkirkan Tottenham musim lalu adalah AC Milan.



Anglo-Italian Clash
Dan sekarang mari berbicara tentang Anglo-Italian Clash, tentang apa saja yang melatar belakangi sengitnya persaingan Inggris-Itali. Baik Milan-Napoli ataupun Arsenal-Chelsea boleh saja saling sikut di liga domestik, tapi bila konteknya Liga Champions, nasionalisme lah yang utama. Seperti ucapan Adriano Galliano saat Inter bertemu Muenchen di final Liga Champions 2009/2010,"Hanya orang bodoh yang tidak mendukung Inter Milan memenangi Liga Champions!". Padahal seperti yang kita ketahui, Milan dan Inter adalah saudara lama yang tak pernah akur baik didalam dan diluar lapangan.

Tim-tim Serie-A bermain dengan basis kontrol, teknik, dan full taktik. Sepakbola Itali masih menganut catenaccio karena itu sudah menjadi budaya bagi mereka walau sudah jauh berkembang dari era 60-an, era dimana Helenio Herrera memperkenalkan catenaccio bersama Inter Milan.

Soal akting bermain dan fungsi, tak ada yang bisa menandingi bek-bek Itali. Mereka selalu memperlihatkan ruang permainan ketimbang bagaimana cara mengumpan. Mereka lebih memilih memelototi gerakan lawan ketimbang membuka serangan. Dan bagi mereka mengontrol permainan dan lawan (uoma l'contro uomo) lebih utama daripada bermain cantik dan agresif. Pola ini jelas membutuhkan teknis dan seni yang tinggi. Sepakbola Itali tak berobsesi untuk bermain ofensif dan menciptakan banyak peluang. Untuk apa susah-susah membuat peluang hanya untuk satu gol? Itulah dasar pemikiran calcio! Ibarat kata, Itali memainkan sepakbola seperti pecatur Anatoly Karpov yang kuat bertahan, introvert, dan menyerang secara sistematis.

Berbeda dengan Inggris yang pola permainannya kental dengan kekuatan, kecepatan, dan pengendalian. Gaya bermain tim-tim Inggris sempat dicibir karena memainkan pola-pola yang terlalu spekulatif seperti long balls, direct passes, crossing, dan kick 'n rush. Pengamat sepakbola bahkan menamakan itu sebagai sebuah fenoma, tentunya sebagai sebuah sindiran. Soal tugas dan fungsi bermain, sepakbola Inggris membaginya sesuai dengan postur tubuh dan kemampuan pemain. Ada yang menggiring bola, menghadang lawan, hingga mengganggu kiper lawan.

Ketika bermain, tim-tim Inggris tak ingin menjadi budak hasil akhir, acuannya adalah efisiensi terhadap waktu. Sedangkan kunci bagi tim-tim Itali adalah efektifitas, mengacu kepada hasil akhir.

Kerasnya Anglo-Italian juga berdampak ke sisi non teknis. Liga Inggris dituding terlalu mementingkan sisi bisnis daripada prestasi timnas. Liga sebagai panggung hiburan ditaburi pemain-pemain bintang dari luar Inggris demi mementingkan tuntutan fans dan ambisi klub semata.Bila sebuah klub sepakbola umumnya selalu bermain dengan 12 orang, plus satu orang yang mereka sebut suporter, di Inggris terdapat pemain ke-13 yang mereka sebut uang! Begitu berdampaknya "pemain ke-13" ini hingga pada musim 2008/2009, 3 pertempuran Anglo-Italian semuanya dimenangi Inggris.

Musim 2008/2009 menjadi musim yang pahit bagi sepakbola Itali. Itali merasa dianiaya, dan bahkan pada kolom surat kabar disana tertulis: "Sepakbola kita telah dihancurkan Inggris". Sebab musababnya jelas, Inggris menciptakan ketimpangan dari sisi finansial dengan maraknya investor asing yang masuk kesana dan menjadikan klub bebas membeli pemain, sementara Itali sedang terlilit krisis ekonomi. Tak pelak Galliani pun menuding krisis ekonomi menjadi biang keladinya, namun Mourinho mengomentarinya dengan kalimat yang tentunya kontroversial,"Bagaimana mau bersaing? Klub Itali bermain 90 menit seminggu sedangkan Inggris 12 jam seminggu!"

Inggris selalu mengklaim sebagai tanah lahirnya sepakbola, namun sedikit cerita tentang Marco Polo mungkin bisa menjadi pertimbangan untuk mengamini atau tidak pernyataan pihak Inggris itu. Saat Marco Polo kembali ke Venezia usai berpetualang dari Cina, India, hingga Sumatra. Ia tak hanya membawa mi yang kemudian diubah menjadi spagheti, tetapi juga kisah tentang Tsu Chu yang membuat Giovanni Bardi bisa menulis dasar-dasar calcio pada 1580. "All roads may yet lead to Rome", banyak jalan menuju Roma. Tapi, mau dari mana saja untuk menuju Roma, tak ada bukti bahwa Itali belajar sepakbola dari Inggris. #

Monday, January 30, 2012

0 Sinetron PSSI

Sinetron adalah akronim yang lebih serig kita kenal untuk menyingkat istilah sinema elektronik. Sinetron ini dikenal soap opera dalam bahasa Inggris ataupun telenovela bila di Spanyol. Umumnya, sinetron bercerita tentang kehidupan manusia sehari-hari, lengkap dengan konflik-konflik sebagai penghias alur ceritanya.

Biasanya, kisah dari sinetron cenderung memberikan ketegangan sepanjang kisahnya, dan selalu ditunda kelanjutanya untuk episode berikutnya. Tak jarang, sinetron yang menghiasi layar televisi kita dibubuhi edisi 1, 2, 3, dan seterusnya. Terbukti sinetron saat ini masih menjadi pendongkrak rating suatu stasiun televisi sekaligus menunjukkan masyarakat kita menggemari drama.

Tanpa disadari, PSSI sebagai organisasi sepakbola tertinggi di Indonesia menyugukan kita episode-episode yang penuh ketegangan. Saat Nurdin Halid masih memangku jabatan ketua umum PSSI, muncul Arifin Panigoro dan Jorge Toisutta dari kubu Jenggala dengan misi mengakhiri rezim Nurdin yang ditengarai penuh praktek-praktek kotor. Kubu Jenggala yang pro perubahan memulai kampanyenya dengan membeberkan fakta-fakta yang sekian lama diburamkan kubu status quo.

Digadang-gadang bakal memimpin PSSI, Arifin dan Jorge justru tersangkut aturan FIFA. Arifin terbukti terlibat dalam LPI yang oleh FIFA dianggap sebagai breakaway league, sedangkan Jorge tersangkut aturan bahwa ia masih aktif sebagai anggota TNI. Penunjukan Agum Gumelar sebagai ketua Komite Normalisasi berakhir dengan terpilihnya calon 'alternatif' dari kubu Jenggala, Djohar Arifin Husin.

Dualisme Kompetisi


Pergantian kepengurusan bukan berarti drama ini akan berakhir. Déjà vu dualisme kompetisi kini kembali tersaji dan pelakunya masih barang lama, IPL dan ISL. Diikutsertakannya klub-klub peserta IPL versi Arifin Panigoro membuat klub-klub peserta ISL berang. Bagi mereka, tidaklah adil klub-klub yang semula berada di kompetisi terlarang dengan mudah diberikan 'ampunan' dan diizinkan mengikuti kompetisi yang baru dan legal. Selain itu, jumlah peserta yang membengkak pun akan mempengaruhi kondisi klub terutama fisik pemain, apalagi bagi klub yang harus berlaga dikompetisi Asia.

Kalau boleh jujur, PSSI tak perlu membubarkan PT Liga Indonesia selaku operator ISL karena itu berarti PSSI melakukan pekerjaan mulai dari nol. PSSI seharusnya memberikan sanksi kepada klub-klub peserta IPL dan menjalankan kompetisi sesuai format yang sudah ada. Diikutsertakannya klub-klub peserta IPL malah menguatkan anggapan bahwa Djohar Arifin adalah boneka yang terus di dikte oleh kubu Jenggala pimpinan Arifin Panigoro.

Negara tetangga kita, Vietnam, juga pernah berada pada kondisi yang sama. 7 klub peserta V-League, yakni Hoang Anh Gia Lai, Dong Tam Long An, Hoa Phat Hanoi, Hanoi ACB, Vissai Ninh Binh, Khatoco Khanh Hoa, dan Thanh Hoa memohon agar VFF (Federasi Sepakbola Vietnam) mengizinkan mereka keluar dan berlaga di Vietnam Super League. Yang mendasari keputusan itu adalah tidak profesionalnya penyelenggaraan liga dan rawan pengaturan skor. Meski pada awalnya ditolak, akhirnya VFF merestui lahirnya kompetisi yang dikelola perseroan.

Kondisi di negri Paman Ho itu tentunya tak seperti di negri kita dimana dualisme kompetisi erat hubungannya dengan kekuasaan. Disana ide untuk melahirkan kompetisi baru mutlak dari klub peserta liga yang merasa harus dilakukan perubahan. Namun yang patut kita cermati adalah bagaimana mereka sukses melakukan mediasi hingga akhirnya VFF melunak dan Vietnam Super League pun siap digulirkan.

Di Indonesia, akar dari dualisme kompetisi ialah konsep liga tandingan yang dicetus Arifin Panigoro dalam usahanya menurunkan Nurdin Halid dulu. Dan siapa sangka, kini ketika usahanya itu berhasil, IPL menjadi senjata makan tuan yang justru akan menggulingkan Djohar Arifin bila tak kunjung mendapatkan win win solution.

PSSI boleh saja beranggapan bahwa IPL tak ubahnya seorang bayi yang telah lahir dan tak mungkin ditelantarkan. Namun, bukannya ISL sudah terlebih dahulu lahir dan bahkan jauh lebih dewasa ketimbang IPL? PSSI bukanlah organisasi yang bertugas melahirkan banyak kompetisi ataupun regulasi, tapi PSSI bertugas untuk melahirkan pemain-pemain yang akan mempersembahkan trofi bagi Indonesia.

Proses mediasi guna mencari jalan tengah tentu tak akan sukses bila kedua belah pihak masih keuh-keuh mempertahankan apa yang menurut mereka benar, sama halnya dengan KLB yang diklaim satu-satunya jalan untuk menyudahi drama dualisme kompetisi. Tanpa ada pihak yang siap mengalah dan legowo, kita harus bersiap menyambut sanksi FIFA apa pun bentunya. Yang jelas, akan menjadi kerugian bagi seluruh pencinta olahraga asal Inggris ini.

Sinetron hampir selalu menjual mimpi bagi penonton, pun dengan PSSI yang terus-menerus menjual mimpi bagi pencinta sepakbola. Kita hanya akan bisa bermimpi melihat timnas mengangkat trofi Piala AFF, apalagi berlaga di piala dunia. PSSI tak ubahnya quicksand atau pasir isap yang menyedot perhatian dan energi kita, terlebih lagi konflik ini sebenarnya menyedot banyak dana yang justru terbuang sia-sia. Patut diingat, sepakbola adalah cabang olahraga dengan penggemarnya paling banyak, anggaran dananya paling besar, tetapi hingga kini masih nihil prestasi.

Entah kapan kita bisa melihat sepakbola negri ini sebagai pemersatu bangsa dan mengakhiri pertikaian seperti yang dilakukan Nelson Mandela dan Mahatma Gandhi. Satyagraha, salah satu filosofi yang dicetuskan oleh Gandhi, artinya kurang lebih kekuatan kebenaran, dimana perlawanan yang tidak melulu harus ditempuh dengan jalan kekerasan. Benih-benih inilah yang digunakan Mandela untuk mengakhiri penindasan berdasarkan warna kulit yang terjadi di Afrika Selatan melalui sepakbola. Gandhi dan Mandela paham betul bahwa sepakbola bukan soal invidu ataupun kelompok, tapi tentang kerja sama tim.

Sikap pemegang kepentingan di tubuh PSSI yang terus adu argumen menunjukkan siapa mereka sebenarnya, bahwa mereka bukan orang-orang yang mengerti dan paham betul nilai apa saja yang ada dalam sepakbola. Mereka tidak tau apa makna dari sodoran tangan seorang pemain kepada pemain lain yang terjatuh setelah terkena tackling keras, mereka juga tidak tau makna dari minute of silence yang dilakukan sesaat sebelum pertandingan dimulai. Bahkan mungkin, mereka tidak tahu mengapa sepakbola itu dimainkan oleh 11 orang! Yang mereka tahu hanyalah kepentingan yang mereka bawa, entah itu untuk kelompoknya ataupun untuk individu mereka sendiri.

Seperti peribahasa, dua gajah bertarung pelanduk mati ditengah-tengah. Mereka yang terus bertarung kian membawa sepakbola negri ini yang berada ditengah-tengah menuju kematian layaknya sang pelanduk. Namun, namanya juga sinetron yang terus membawa kita bermimpi dan berandai, saya ingin mengajak kita semua berandai bagaimana bila suatu saat mereka, dua kubu yang bertikai, saling bekerja sama dan bersinergi membangun sepakbola tanah air? Kira-kira bagaimana nasib sang 'pelanduk'? Simpan saja jawabannya untuk kita sendiri.
 

Gemahpedia Copyright © 2011 - |- Template created by O Pregador - |- Powered by Blogger Templates